Ketika ingin sukses dalam segala sesuatu yang dilakukannya merupakan sebuah tabi’at setiap orang. Termasuk anda ingin sukses dalam mengarungi samudera kehidupan bersama keluarga. Tetapi ternyata tidak selamanya keinginan anda tersebut sesuai dengan takdir Allah SWT . Sebuah ikatan yang sudah berusaha dijaga kebahagiaan demi meraih sebuah impian ternyata harus berakhir dengan adanya perpisahan.
Terjadinya perpisahan dapat terjadi karena adanya masalah yang tidak kunjung ada solusi atau terpisah karena salah satunya meninggal dunia. Maka pertanyaannya, apakah dengan berakhirnya ikatan rumah tangga berarti berakhir pula aturan yang berkaitan dengannya? Tentu jawabannya, tidak. Mengingat setelah terjadi perpisahan ini masih ada kewajiban yang harus ditunaikan oleh pihak wanita yang disebut dengan masa ‘iddah. Apakah yang dimaksud dengan Masa Iddah? Lalu ketentuan apa sajakah yang harus dilakukan pada masa ‘iddah? Berikut ini akan dijelaskan dan mencoba untuk menyampaikan masalah ini secara sistematis.
Pengertian Masa ‘Iddah
Masa Iddah ialah istilah yang diambil dari bahasa arab dari kata al-‘iddah yang berarti perhitungan. Dinamakan masa ‘iddah karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa ‘iddah.
Menurut para ulama, masa ‘iddah merupakan sebuah sebutan atau nama suatu masa dimana seorang perempuan sedang menanti atau menangguhkan ikatan perkawinan setelah dirinya ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah mereka diceraikan. Selain itu berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan atau berakhirnya beberapa quru’.
Ada beberapa bagian ulama menyatakan, bahwa pada masa ‘iddah ialah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak sedang hamil atau karena ta’abbud atau menghilangkan rasa sedih atas sang suami.
Hikmah ‘Iddah
Para ulama memberikan beberapa keterangan tentang hikmah persyariatan masa ‘iddah yang diantaranya :
- Syariat Islam telah mensyariatkan masa ‘iddah untuk menghindari ketidak jelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.
- Masa Iddah disyariatkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan.
- Masa ‘iddah disyariatkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan terutama dalam kasus penceraian.
- Masa ‘iddah disyariatkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicerai dalam keadaan hamil.
- Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.
Dasar Persyariatannya
Masa ‘iddah sebenarnya sudah dikenal ketika masa jahiliyah. Ketika masa Islamiyah datang, masalah ini tetaplah diakui dan dipertahankan. Sehingga para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib berdasar pada al-qur’an dan as-sunnah.
Dalil dari al-qur’an dalam firman Allah SWT yaitu para wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri atau menunggu tiga kali quru’ [QS. Al-baqoroh/2:228]
Sedangkan pada dalil dari as-sunnah banyak sekali yang diantaranya :
Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah, namun ia menolak menikah dengannya. Pernah ada yang berkata, “Demi Tuhan, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa ‘iddah yang paling panjang dari dua masa ‘iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “segera menikahah !“
Aturan-Aturan Dalam ‘Iddah
Pada masa ‘iddah ini sangat mewajibkan pada semua wanita yang telah berpisah dari suaminya dengan sebab sudah ditalak, khulu’ atau gugat cerai, penggagalan akad nikah, ditinggal mati , dengan syarat sang suami telah melakukan hubungan suami istri dengannya atau telah diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya.
Berdasarkan hal ini, berarti wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum digauli atau belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak memiliki masa ‘iddah. Karena Allah SWT telah berfirman dalam (QS. Al-Ahzab/33:49) yang menjelaskan kalau ada seseorang yang beriman, apabila ingin menikah dengan para wanita yang beriman, namun kemudian anda sebagai wanita diceraikan sebelum seami mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagi para wanita yang anda minta untuk menyempurnakannnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dan berdasarkan penyebab terjadinya perpisahan, masalah ‘iddah ini dapat dirincikan sebagai berikut :
- Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
Wanita ditinggal matii oleh suaminya memiliki dua keadaan :
- Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka masa menunggunya atau masa ‘iddah berakhir setekah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman Allah SWT dalam al-qur’an (QS. Ath-Thalaq/65:4) yaitu Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu alah sampai mereka melahirkan kandungannya.
ayat ini juga sangat dikuatkan dengan hadits oleh al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhu yang berbunyi : Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam lantas meminta izin kepada beliau untuk menikah lagi. Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah lagi. [HR. al-Bukharir no 5320 dan Muslim no 1485].
- Wanita tersebut tidak hamil. Jika hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Allah Subhanahu wa ta’ala berfiman dalam surah al-Baqarah ayat 234 adalah Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya ber‘iddah empat bulan sepuluh hari, kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tidak ada dosa bagimu wahai para wali membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
- Wanita yang diceraikan
wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’I atau thalak yang bisa ruju’ dan wanita yang ditalak dengan thalak ba’in atau thalak tiga.
- Wanita yang diceria dengan thalak raj’I menjadi beberapa :
- Wanita yang masih haidh
Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allah Azza wa Ja;;a dalam QS. Al-bqoroh/2:228 yaitu Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri atau menunggu tiga kali quru’.
Menurut pendapat yang rajah, quru’ artinya haidh, berdasarkan hadits dari HR. Abu Daud no. 252 dan dishahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Daud bahwasnya A’isyah radhiyallahu anhuma berbunyi : Sesungghunya umma Habibah pernah mengalami pendarahan atau istihadhah/darah penyakit. Lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-hari quru’nya atau haidhnya.
Oleh karena itu Ibnul Qayyin rahimahumullah merajihkan pendapat ini dan mengatakan, “lafazh quru’ tdak digunakan dalam syariat kecuali untuk pengertian haidh dan tidak ada satupun digunakan untuk pengertian suci atau thuhr, sehingga memahaim pengertian quru’ dalam ayat ini dengan pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih baik. Karena Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang terkena daeah istihadlah : tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu.
- Wanita yang tidak haid, baik karena belum pernah haidh atau sudah monopuse.
Bagi wanita yang seperti ini masa ‘iddah adalah tiga bulan, seperti dijalaskan Allah SWT dalam firmanNya surat. ath-Thalaq ayat 4 yaitu Dan Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi atau menopause diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa ‘iddah, maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid.
- Wanita Hamil
Wanita yang hami bila dicerai memiliki ‘iddah yang berakhir dengan melahirkan, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS.ath-Thalaq/65:4 yaitu Dan begitu pula perempuan-perempuan yang hamil dan perempuan-perempuan yang tidak haid, waktu ‘iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.
- Wanita yang terkena darah istihadhah.
Wanita apabila terkena darah istihadhah juga memiliki masa ‘iddah sama dengan wanita haid. Kemudian bila ia memilii kebiasaan haid yang teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam haid dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali haid maka selesailah ‘iddah.
- Wanita yang ditalak tiga atau talak ba’in
Wanita yang telah ditalak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak sedang hamil. Alim Ulama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “ wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa ‘iddah sekali haid.
Dengan haid sekali berarti sudah terbukti bahwa Rahim kosong dari janin dan setelag itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain.
- Wanita yang Melakukan Gugat cerai atau Khulu’
Wanita yang berpisah dengan gugar cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh, sebagaimana hadits oleh HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani Shahih Sunan Abu Daud no 1950 bahwasanya dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu sekali haid.
Juga hadits dari HR. at-Tirmidzi dan disahihkan al-Albani dalam shahih Sunan at-Tirmidzi no 945 berbunyi : dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘afra bahwa beliau mengajukan gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahlannnya untuk menunggu ‘iddahnya satu kali haid.
Perubahan Standar Masa ‘Iddah dari Haid Ke Hitungan Bulan
Pada asalnnya masa ‘iddah seorang wanita itu menggunakannya satu standar dari sejak mulai sampai akhir. Namun terkadang karena suatu sebab terjadi perubahan standar. Misalnya, apabila seorang suam mentalak istrinya yang masih aktif haid, kemudian sebelum masa ‘iddahnya selesai, sang suami meninggal dunia, wanita seperti ini memiliki dua keadaan :
- Apabila talak tersebut masih talak raj’i atau talak satu dan dua, maka masa ‘iddahnya yang wajib diselesaikan oleh wanita ini bukan lagi dengan hitungan iga kali haid tapi sudah berpindah ke ‘iddahnya wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari. Karena statusnya masih tetap sebagai istri. Talak raj’i tidaklah menghilangkan status istri pada seorang wanita. Oleh karena itu, wanita yang ditalak dengan talak raj’i masih saling mewarisi dengan suaminya, jika salah satunya meninggal sementara sang istri masih dalam masa ‘iddah.
- Apabila talak tersebut talak tiga atau talak ba’in, maka ia tetap hanya menyempurnakan sekali haid saja dan tidak berubah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. Karena hubungan sebagai suami istri telah putus sejak talak tiga itu sah. Talak tigalah yang menyebabkan status istri pada seorang wanita hilang. Jadi pada kejadian di atas kematian sang suami terjadi setelah si wanita bukan sebagai istrinya lagi.
Perubahan Standar Masa ‘Iddahnya dari Hitungan Bulan Ke Hitungan Haid.
Jika seseorang wanita memulai ‘iddahnya dengan hitungan bulan karena tidak haid, baik karena masih kecil atau telah merasuki masa menopause, namun jika disaat menjalani masa ‘iddahnya ini mengeluarkan haid, maka wajib banginya untuk pindah dari hitungan bulan ke hitungan haid. Karen ahitungan bulan adalah pengganti dari haid. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan tidak boleh dipakai selama masih ada haidnya yang merupakan standar pokok.
Apabila masa ‘iddahnya dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian baru mengalami haid, maka tidak wajib memulai masa ‘iddahnya dari awal lagi dengan hitungan haid. Karena haid ada setelah selesai masa ‘iddahnya berlalu.
Apabila seorang wanita memula hitungan masa ‘iddahnya dengan haid atau bulan kemudian ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka ‘iddahnya berubah menjadi ‘iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.
Perlu diketahui bersama bahwa selama masa ‘iddah hendaklah wanita atau istri yang ditalak raj’I tetap berada di rumah suaminya, tidak boleh keluar tumah tanpa izin dari suami tersebut. Allah SWT berfirman dalam (QS. ath-thalaq/65:1) yang dijelaskan bahwa ketika anda ingin menceraikan istrimu maka hendaklah anda ceraikan meraka pada waktu tepat sehingga mereka dapat menghadapi ‘iddahnya dengan wajar. Hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah SWT. Janganlah kamu keluarkan istrimu dari rumahnya dan janganlah mereka diizinkan keluar rumah kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum ketetapan Allah SWT, maka sesungguhnya dirinya sudah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu yang baru.
Muhammad Asy-Syaukani Ash-Shan’ani Al-Yamani atau al-Imam asy-Syaukani rahimahullah pernah mengatakan “Mengapa dengan demikian, karena status istri padanya belum hiking, sehingga masih menyisakan sebagian status dari sisi wanita dan sebagian status dari suami. Hal ini akan lengkap kembali bila saling rujuk. Sudah dimaklumi apabila wanita tersebut berada dalam statis tidak diceraikan, maka tidak boleh kelaur dari rumah kecuali dengan izin suaminya, karena kadang suami membutuhkannya sementara istri sedang berada di luar rumah. Kadang ketidaksukaan suami kepada istri muncul dengan sebab istri keluar rumah atau menimbulkan kecemburuan. Oleh sebab itu, dalam hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu dalam shahihain dan yang lainnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda jika seorang wanita tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya.
Apabila ketentuan ini berlaku pada puasa yang merupakan bagian dari ibadah yang paling agung, lalu bagaimana dengan jalan keluarnya? Apabila kamu sanggup memahami ini, maka kamu akan tahu tidak sepantasnya bagi wanita di masa ‘iddah talak raj’i untuk keluar kecuali dengan izin suaminya.
Demikian sebagian penjelasan mengenai Masa Iddah. Semoga informasi yang ini sedikit bermanfaat bagi kita semua umat Muslim. Sedikit tambahan seiring perkembangan jaman, kini perkembangan fashion busana muslim berkembang semakin pesat. Seperti model baju gamis yang semakin diminati banyak wanita di Indonesia. Sehingga kini wanita walau sedang menjalani Masa Iddah dapat tampil lebih percaya diri lagi dan simple dalam pemakaiannya.