Anda tentu pernah melihat bangunan rumah dengan atap seperti topi dengan ukiran unik pada bagian atasnya. Inilah yang dinamakan rumah Joglo yang merupakan rumah adat Jawa Tengah yang sudah menjadi primadona di kalangan masyarakat umum. Rumah ini umumnya dibuat dari kayu jati. Atapnya berbentuk tajug yang mengacu pada bentuk gunung yang merupakan symbol sacral bagi masyarakat Jawa.
Mengenal Atap Tajug
Tajug sendiri adalah atap berbentuk pyramidal atau limas bujur sangkar yang biasa digunakan sebagai atap masjid atau cungkup makan di tanah jawa. Dari istilah โtajugโ inilah, penamaan Joglo muncul. Joglo adalah istilah yang berasal dari dua kata, yaitu tajug dan loro. Kedua kata ini disingkat menjadi Joglo, tajug loro. Sehingga, penggabungan ini bermakna penggabungan dua tajug.
Beberapa desa di Jawa Tengah masih mempertahankan arsitektur Joglo sebagai tempat tinggal mereka. Coba saja Anda main ke daerah Jogja, misalnya, pasti Anda masih bisa menjumpai rumah dengan arsitektur Joglo yang masih asli. Namun demikian, jumlahnya sudah tidak sebanyak dulu, terutama di kawasan urban.
Meski sudah jarang dijadikan tempat tinggal, rumah bergaya Joglo ini merupakan konsep arsitektur yang sangat menarik untuk menciptakan suasana Jawa. Alhasil, di kota-kota besar, rumah dengan arsitektur Joglo kerap digunakan untuk bangunan museum atau gedung serbaguna yang biasa digunakan untuk acara-acara, seperti resepsi pernikahan atau acara adat.
Sejarah Rumah Joglo
Mulanya, rumah Joglo zaman dulu bukan sekadar tempat tinggal biasa. Rumah ini merupakan simbol status sosial masyarakat Jawa Tengah yang hanya mampu dimiliki oleh kalangan atas. Dengan kata lain, mereka yang memiliki rumah bergaya Joglo adalah mereka yang dianggap mampu secara finansial (kaya) atau keturunan bangsawan. Hal ini karena bahan pembuat rumah bergaya Joglo lebih mahal dan rumit.
Itulah mengapa anggapan rumah bergaya Joglo hanya bisa dimiliki oleh kaum bangsawan, raja, dan pangeran, menjadi berkembang. Anggapan ini membuat masyarakat biasa yang memiliki penghasilan rendah dan tidak mampu, tidak berani membuat rumah bergaya Joglo. Masyarakat dengan penghasilan rendah umumnya akan membuat rumah dengan gaya Panggangpe atau Limasan yang lebih hemar biaya.
Seiring dengan berkebangnya waktu dan peradaban, rumah dengan arsitektur Joglo bisa dimiliki dan dibuat oleh berbagai kalangan. Bahan-bahannya juga kini lebih variatif dengan harga yang terjangkau, serta sudah banyak tersedia di pasaran. Hal ini menjadikan pembuatan rumah bergaya Joglo lebih hemat dibandingkan dengan masa lampau.
Aturan Membangun Rumah Joglo
Dari segi bangunan, rumah dengan arsitektur Joglo tidak dibuat sembarangan. Ada beberapa aturan pembuatnya, sehingga sebuah bangunan bisa disebut Joglo atau rumah tradisional Jawa. Misalnya, dari segi atap yang ditopang oleh empat tiang utama yang disebut dengan Soko Guru. Jumlah ini mewakili kekuatan yang berasal dari empat arah mata angin.
Secara spiritual, jumlah ini dipercaya sebagai tempat manusia yang berada di tengah perpotongan empat arah mata angin tersebut. Artinya, suatu tempat yang konon mengandung getaran magis tinggi. Nah, titik dari perpotongan ini disebut dengan Pancer atau Manunggaling Kiblat Papat. Sehingga, pembangunan tiang ini pun tidak bisa sembarangan, harus menggunakan jasa gambar rumah khusus dan profesional.
Bagian rumah bergaya Joglo juga tidak sama seperti rumah modern kebanyakan. Dalam aturannya, ada tiga bagian dalam rumah bergaya Joglo. Bagian pertama adalah pendopo. Bagian yang kedua adalah ruang tengah yang disebut pringgitan. Bagian yang ketiga adalah dalem atau ruang belakang yang berfungsi sebagai ruangan inti, yaitu ruang keluarga.
Pembangunan ketiga bagian ini juga memiliki โpakemโ tersendiri. Pada bagian pendopo, letaknya harus di bagian terdepan dna dibuat tanpa dinding. Ini merupakan simbol orang Jawa yang ramah dan terbuka. Pendopo biasanya digunakan untu menerima tamu. Pada bangunan yang masih tradisional biasanya hanya menggunakan tikar yang berarti kesetaraan, namun kini banyak yang menggunakan meja dan kursi.
Bagian tengah atau pringgitan adalah tempat di mana pemilik rumah menggelar upacara adat. Di mana pada bagian ini biasanya tersedia peralatan untuk menggelar pertunjukan, seperti wayang dan alat music tradisional. Bagian ini disimbolkan sebagai baying-bayang Dewi Sri yang dianggap sebagai sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan.
Bagian terakhir adalah dalem atau ruangan inti sebagai tempat tinggal keluarga. Selayaknya rumah biasa, di dalamnya terdapat kamar yang disebut senthong. Zaman dulu senthong hanya dibuat sejumlah tiga bilik, di mana kamar utama untuk tidur para lelaki, kamar kedua yang diberi istilah krobongan biasanya dikosongkan, dan kamar ketiga digunakan oleh para perempuan.
Ruangan kosong pada senthong bukan tidak difungsikan. Ruangan ini tetap diisi lengkap dengan segala perlengkapan kamar, seperti tempat tidur, lemari, dan perlengkapan lainnya. Namun, tidak ditempati, melainkan untuk penyimpanan benda-benda pusaka. Dengan kata lain, ruangan ini adalah ruang suci. Biasanya digunakan untuk pemujaan terhadap Dewi Sri yang diangungkan masyarakat Jawa.
Namun, rumah bergaya Joglo kini sudah tidak terlalu memperhatikan fungsi-fungsi adat sebagaimana mestinya. Tapi harus tetap ada โpakemโ yang digunakan. Karenanya, patut dipertimbangkan untuk menyewa jasa gambar rumah khusus untuk pembangunan rumah bergaya Joglo